KEPUASAN KONTRAKTOR KELAS KECIL DAN MENENGAH MENENTUKAN ARAH INDUSTRI KONSTRUKSI NEGARA

Oleh:

  • Profesor Madya Dr. Md. Asrul Nasid Masrom (Malaysia)
  • Sr H. Norazilan Bin Mazahar (Malaysia)
  • Dr. Ir. Uus Mohammad Darul Fadli, S.E., MM (Indonesia)

 Peran kontraktor kelas kecil dan menengah (G1–G4) semakin penting dalam ekosistem industri konstruksi Malaysia. Mereka terlibat langsung dalam proyek-proyek skala kecil dan menengah yang secara langsung mendukung pembangunan lokal seperti pembangunan sekolah, jalan pedesaan, balai komunitas, perumahan terjangkau dan pemeliharaan fasilitas dasar.

Meskipun ruang lingkup mereka berbeda dengan kontraktor kelas besar, kontribusi mereka terhadap keseimbangan pembangunan infrastruktur tidak boleh diremehkan. Seringkali ruang lingkup pekerjaan kontraktor kecil bersifat sederhana dan tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikannya.

Dalam diskusi tentang reformasi industri konstruksi, baik dari sudut pandang digitalisasi, kebijakan hijau atau perbaikan tata kelola, suara kontraktor kecil sering terpinggirkan dan dibungkam.

Belum lagi untuk memperhitungkan keinginan dan tingkat kepuasan dan motivasi mereka. Oleh karena itu, mengukur dan memahami tingkat kepuasan kontraktor kecil dan menengah dipandang penting untuk memastikan keberlanjutan industri yang berkelanjutan, adil dan kompetitif.

Menurut data terbaru yang diperoleh dari Malaysian Construction Industry Development Board (CIDB), ada lebih dari 273.340 kontraktor terdaftar secara nasional dari Grade G1 hingga Grade G7. Dari jumlah tersebut, mayoritas adalah kontraktor dalam kategori kelas kecil dan menengah (G1 hingga G4). Misalnya, di negara bagian Perlis saja, ada lebih dari 2911 kontraktor terdaftar dalam kategori G1 dan G2.

Ini jelas menunjukkan bahwa kontraktor kecil dan menengah merupakan bagian besar dari ekosistem konstruksi negara. Sebuah studi yang dilakukan oleh Fakultas Teknologi dan Manajemen, Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) mengidentifikasi lima faktor utama yang mempengaruhi tingkat kepuasan kontraktor kecil di negara ini. Pertama, akses ke peluang proyek sangat penting. Sementara sistem seperti eProcurement dibuat untuk meningkatkan transparansi, banyak kontraktor kecil melaporkan kendala informasi dan persaingan yang tidak seimbang.

Kedua, masalah keterlambatan pembayaran masih menghantui industri. Sebuah studi oleh Universiti Teknologi MARA (UiTM) menemukan bahwa lebih dari 65% kontraktor kecil mengalami keterlambatan pembayaran, menyebabkan mereka menghadapi masalah arus kas di mana mereka menjadi kontraktor yang “berjuang untuk hidup mereka” untuk tetap berbisnis.

Faktor ketiga adalah sulitnya mendapatkan pendanaan. Banyak kontraktor kecil gagal mendapatkan pinjaman karena kurangnya agunan dan catatan keuangan yang buruk dan kurang meyakinkan.

Keempat, akses ke pelatihan teknis dan manajemen proyek sangat penting. Pelatihan yang diselenggarakan oleh CIDB dan HRD Corp dipandang membantu, tetapi partisipasi masih rendah karena keterbatasan waktu, lokasi, dan sumber daya keuangan.

Selanjutnya, faktor kelima, hubungan kerja dengan pemilik proyek memainkan peran besar. Komunikasi terbuka dan kolaboratif antara kontraktor dan perwakilan pemilik proyek seperti JKR atau PBT dapat mengurangi konflik di lokasi dan meningkatkan kepuasan kerja.

Ini dengan jelas menggambarkan betapa pentingnya meningkatkan motivasi dengan mengukur kepuasan kontraktor. Bahkan, penting juga dalam memberikan gambaran komprehensif tentang efektivitas kebijakan dan sistem industri konstruksi saat ini.

Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya bergantung pada investasi dan teknologi, tetapi juga pada keterlibatan pelaku industri akar rumput seperti kontraktor kecil. Mereka yang puas lebih cenderung berinvestasi dalam pelatihan, menjaga kualitas, dan memenuhi persyaratan keselamatan.

Ada beberapa model kepuasan yang dapat digunakan, antara lain SERVQUAL, Customer Satisfaction Index (CSI) dan Kano Model. Di Malaysia, Universiti Teknologi Malaysia (UTM) telah menggunakan beberapa model kepuasan yang dapat digunakan, antara lain SERVQUAL, Customer Satisfaction Index (CSI) dan Kano Model.

Di Malaysia, meluasnya penggunaan SERVQUAL untuk mengukur perbedaan antara harapan kontraktor dan pengalaman aktual tentang layanan lembaga pemerintah.

Sementara itu, di luar negeri, University of Salford di Inggris menggunakan CSI untuk menilai kepuasan perusahaan konstruksi kecil dengan dukungan kebijakan lokal. Universitas Kyoto di Jepang, di sisi lain, menerapkan Model Kano untuk memahami kebutuhan dasar dan kebutuhan bernilai tambah kontraktor.

Di era baru, tantangan bagi kontraktor kecil dan menengah semakin menantang. Transformasi digital mengharuskan mereka untuk memahami sistem e-submission, BIM, dan teknologi konstruksi pintar. Sayangnya, masih banyak kontraktor yang mengandalkan metode tradisional karena kurangnya pengetahuan dan sumber daya.

Tidak hanya itu, tetapi pada saat yang sama, tuntutan untuk kepatuhan terhadap Environmental, Social & Governance (ESG) dan Sustainable Development Goals (SDGs) membuat proses penawaran proyek semakin rumit dan sulit untuk dipenuhi secara efektif.

Kontraktor kecil perlu menyiapkan laporan karbon, pengelolaan limbah konstruksi, serta dokumen kesejahteraan karyawan, yang membutuhkan pelatihan dan dukungan khusus.

Di negara maju, kontraktor kecil di Jerman, Australia, dan Singapura menerima eksposur yang lebih sistematis. Di Jerman, misalnya, kebijakan “Mittelstand” memberikan perlindungan kepada perusahaan kecil melalui ketentuan khusus dalam tender pemerintah. Di Singapura, National University of Singapore (NUS) bermitra dengan agen konstruksi negara untuk memberikan pelatihan ESG kepada kontraktor kecil. Di Australia, platform seperti “ProcureRight” digunakan untuk mencocokkan kontraktor kecil dengan proyek berdasarkan profil dan kemampuan mereka.

Dengan demikian, Malaysia dapat meniru pendekatan ini dengan menetapkan indeks kepuasan kontraktor nasional yang diperbarui setiap tahun. Data ini dapat menjadi acuan penting dalam implementasi kebijakan seperti Kebijakan Pembangunan Nasional (NCP), Kebijakan Pengadaan Pemerintah, bahkan Agenda Transisi Digital Nasional.

Pada saat yang sama, lembaga seperti CIDB, SME Corp, HRD Corp dan MARA dapat memainkan peran yang lebih proaktif dalam membantu kontraktor kecil beradaptasi dengan lanskap industri yang berubah.

Kesimpulannya, kontraktor kecil bukan hanya pelaksana di lapangan tetapi mereka adalah aktor strategis yang berkontribusi pada pembangunan ekonomi lokal, stabilitas sosial, dan keberlanjutan industri konstruksi negara. Suara mereka perlu didengar, kepuasan mereka perlu diukur dengan hati-hati, dan potensi mereka perlu dipoles. Hanya dengan begitu kita dapat membangun industri konstruksi yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif.

 

Disediakan oleh: 

Associate Professor Dr. Md Asrul Nasid Masrom
Peneliti Utama
Centre for Sustainable Infrastructure and Environmental Management (CSIEM)
Faculty of Technology and Business Management, Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM)


Sr H. Norazilan Bin Mazahar
Material Survey Contract Division
Sultan Idris University of Education


Dr. Ir. Uus Mohammad Darul Fadli, S.E., MM
Universitas Buana Perjuangan Karawang, Indonesia

 

Similar Posts